Saturday, December 17, 2011

PEMERIKSAAN VISUS PADA PENDERITA KATARAK

PENDAHULUAN

Katarak merupakan penyebab utama berkurangnya penglihatan pada usia 55 tahun atau lebih. Secara umum dianggap bahwa katarak hanya mengenai orang tua, padahal katarak dapat mengenai semua umur dan pada orang tua katarak merupakan bagian umum pada usia lanjut. Makin lanjut usia seseorang makin besar kemungkinan menderita katarak (6).
Katarak adalah menjadi keruhnya lensa mata. Berbagai teori dan pendapat pernah dikemukakan para ahli untuk menerangkan sebab-sebab terjadinya katarak tetapi tidak satupun yang dapat menerangkan dengan memuaskan. Saat ini umumnya para ahli sepakat bahwa sebab-sebab katarak sesungguhnya amatlah kompleks dan dipengaruhi banyak faktor. Tetapi pada dasarnya hilangnya kejernihan lensa dapat terjadi akibat gangguan struktur lensa yang berupa serabut-serabut yang membentuk sistem koloid dimana sejumlah besar air
terikat di dalamnya. Gangguan ini mungkin terjadi dalam 2 bentuk yaitu (6).
  1. kekeruhan karena sembab, akibat penimbunan air diantara susunan serabut-serabut lensa atau absorbsi intraseluler yang biasanya ditentukan oleh tekanan osmosis.
  2. kekeruhan karena penggumpalan (koagulasi),adalah suatu perubahan kimiawi dari kandungan protein lensa dimana protein lensa yang semula larut dalam air menjadi tidak larut dalam air.
Jumlah penderita katarak di seluruh dunia saat ini lebih dari 15 juta dan akan mencapai 40 juta pada tahun 2025. Sedangkan menurut data dari WHO jumlah mata yang menderita katarak dengan visus kurang dari 6/60 di seluruh dunia pada tahun 2020 dapat mencapai lebih dari 150 juta mata. Hasil survei morbiditas yang dilakukan Dep. Kes tahun 1982 di Indonesia didapatkan prevalensi kebutaan berkisar 1,2% dan katarak menempati urutan pertama dengan angka 0,76%. Sedangkan berdasarkan survei keshatan indera penglihatan dan pendengaran yang dilaksanakan pada tahun 1993-1996, prevalensi kebutaan menjadi 1,5%. Sampai dengan saat ini diperkirakan jumlah penderita yang mengalami kebutaan kurang lebih 3 juta orang. Adapun setengah dari angka tersebut merupakan buta karena katarak yang belum dioperasi (2,3,5).




TINJAUAN PUSTAKA


Anatomi Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan transparan. Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Dibelakang iris lensa digantung oleh zonula (zonula Zinnii) yang menghubungkannya dengan korpus siliare.
Di sebelah anterior lensa terdapat humor aquaeus dan disebelah posterior terdapat viterus. Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang dapat dilewati air dan elektrolit. Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi kurang elastik (1).
Lensa terdiri dari enam puluh lima persen air, 35% protein, dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain (1).
Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau pun saraf di lensa (1).
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi, menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel atau terfokus ke retina (7).
Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi (7).
Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa perlahan-lahan berkurang. Selain itu juga terdapat fungsi refraksi, yang mana sebagai bagian optik bola mata untuk memfokuskan sinar ke bintik kuning, lensa menyumbang +18.0- Dioptri (7).

Katarak
Katarak secara relevan dapat menyebabkan terjadinya penurunan ketajaman penglihatan yan cukup signifikan, baik untuk jarak jauh maupun jarak dekat. Tipe katarak menyebabkan efek penurunan tajam penglihatan yang berbeda. Katarak subkapsularis posterior meskipun ringan dapat menyebabkan penurunan visus secara nyata, terutama pada bright illumination bila kondisi pupil miosis. Penglihatan dekat seringkali lebih menurun dibandingkan dengan penglihatan jauh, hal ini kemungkinan disebabkan oleh miosis akomodasi. Berbeda pada katarak nuklearyang slerotikdimana seringkali ditemukan tajam penglihatan dekat yang lebih baik dan tajam penglihatan jarak jauh yang jelek (5).
Pasien dengan katarak kortikal memiliki tajam penglihatan yang cukup baik sampai suatu kondisi dimana aksis visual terganggu oleh adanya kortikal spoke pada katarak yang lanjut (5).
Untuk mengetahui pengaruh katarak pada fungsi visual secara lebih tepat maka perlu pula ditentukan adanya visual disability atau tidak. Maksud visual disability di sini adalah keterbatasan penderita dalam melakukan aktivitas sehari hari akibat adanya gangguan penglihatan (5).

Ketajaman Penglihatan
Visus adalah sebuah ukuran kuantitatif suatu kemampuan untuk mengidentifikasi simbol-simbol berwarna hitam dengan latar belakang putih dengan jarak yang telah distandardisasi serta ukuran dari simbol yang bervariasi. Ini adalah pengukuran fungsi visual yang tersering digunakan dalam klinik. Istilah “visus 20/20” adalah suatu bilangan yang menyatakan jarak dalam satuan kaki yang mana seseorang dapat membedakan sepasang benda. Satuan lain dalam meter dinyatakan sebagai visus 6/6. Dua puluh kaki dianggap sebagai tak terhingga dalam perspektif optikal (perbedaan dalam kekuatan optis yang dibutuhkan untuk memfokuskan jarak 20 kaki terhadap tak terhingga hanya 0.164 dioptri). Untuk alasan tersebut, visus 20/20 dapat dianggap sebagai performa nominal untuk jarak penglihatan manusia; visus 20/40 dapat dianggap separuh dri tajam penglihatan jauh dan visus 20/10 adalah tajam penglihatan dua kali normal (4).
Untuk menghasilkan detail penglihatan, sistem optik mata harus memproyeksikan gambaran yang fokus pada fovea, sebuah daerah di dalam makula yang memiliki densitas tertinggi akan fotoreseptor konus/kerucut sehingga memiliki resolusi tertinggi dan penglihatan warna terbaik(4).
Ketajaman dan penglihatan warna sekalipun dilakukan oleh sel yang sama, memiliki fungsi fisiologis yang berbeda dan tidak tumpang tindih kecuali dalam hal posisi. Ketajaman dan penglihatan warna dipengaruhi secara bebas oleh masing-masing unsur. Cahaya datang dari sebuah fiksasi objek menuju fovea melalui sebuah bidang imajiner yang disebut visual aksis. Jaringan-jaringan mata dan struktur-struktur yang berada dalam visual aksis (serta jaringan yang terkait di dalamnya) mempengaruhi kualitas bayangan yang dibentuk. Struktur-struktur ini adalah; lapisan air mata, kornea, COA (Camera Oculi Anterior = Bilik Depan), pupil, lensa, vitreus dan akhirnya retina sehingga tidak akan meleset ke bagian lain dari retina. Bagian posterior dari retina disebut sebagai lapisan epitel retina berpigmen (RPE) yang berfungsi untuk menyerap cahaya yang masuk ke dalam retina sehingga tidak akan terpantul ke bagian lain dalam retina. RPE juga memiliki fungsi vital untuk mendaur-ulang bahan-bahan kimia yang digunakan oleh sel-sel batang dan kerucut dalam mendeteksi photon. Jika RPE rusak maka kebutaan dapat terjadi (4).
Pemeriksaan visus merupakan pemeriksaan fungsi mata. Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan turunnya visus. Visus perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata (4).
Pemeriksaan visus dapat dilakukan dengan menggunakan Optotype Snellen, kartu Cincin Landolt, kartu uji E, dan kartu uji Sheridan/Gardiner (1)
Optotype Snellen terdiri atas sederetan huruf dengan ukuran yang berbeda dan bertingkat serta disusun dalam baris mendatar. Huruf yang teratas adalah yang besar, makin ke bawah makin kecil. Penderita membaca Optotype Snellen dari jarak 6 m, karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pembacaan mula-mula dilakukan oleh mata kanan dengan terlebih dahulu menutup mata kiri. Lalu dilakukan secara bergantian (1).
Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan. Pembilang menunjukkan jarak pasien dengan kartu, sedangkan penyebut adalah jarak pasien yang penglihatannya masih normal bisa membaca baris yang sama pada kartu. Dengan demikian dapat ditulis rumus: (1) 
     V =D/d
Keterangan:
     V = ketajaman penglihatan (visus)
     d = jarak yang dilihat oleh penderita
     D = jarak yang dapat dilihat oleh mata normal
Dengan Optotype Snellen dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan melihat seseorang, seperti : (1)
1. Bila visus 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter.
2. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
3. Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
4. Bila visus adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
5. Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.
6. Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
7. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan visus pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti visus adalah 1/300.
8. Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.
9. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total. Visus dan penglihatan kurang dibagi dalam tujuh kategori.












REFERENSI


  1. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. ed.3. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2009
  2. Departemen Kesehatan RI Ditjen Bin.Kes.Mas Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran. 1993-1996. Jakarta, 1998
  3. Laporan pelaksanaan program kerja PP Perdami periode 2000-2003. Jakarta: perhimpunan dokter spesialis mata (Perdami)
  4. PERDAMI. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-2, cet.I, Sagung Seto, Jakarta, 2002, 239–245
  5. Sulakso, A Kentar Arimadyo. Perbedaan tajam penglihatan penderita katarak imatura dengan dan tanpa “Penlight Glare Test” .Semarang,2004
  6. Akmam S.M, Azhar Zainal. Katarak dan perkembangan operasinya. Cermin Dunia Kedokteran.1981:21
  7. Guyton AC, Hall JE. 2000. Textbook of Medical Physiology 10TH Edition. Philadelphia: WB Saunders.








PEMERIKSAAN TEKANAN INTRAOKULAR PADA PENDERITA MYOPI

PENDAHULUAN

Tekanan intraokular adalah tekanan yang dihasilkan oleh isi bola mata terhadap dinding bola mata. Tekanan ini dipengaruhi oleh lapisan dinding bola mata dan volume bola mata yang terdiri dari : aquos humor, korpus vitreus, pembuluh darah intraokular dan isinya. Tekanan intraokular diharapkan berada dalam angka yang normal di dalam dinamika cairan aquos humor, karena aquos humor sendiri mempunyai fungsi sebagai media refraksi, pemberi nutrisi dan mempengaruhi tekanan hidrostatik untuk stabilitas bola mata. Banyak faktor yang mempengaruhi tekanan intraokular, antara lain : umur, jenis kelamin, ras, genetik, waktu dan gangguan refraksi.
Tekanan intraokuler normal pada manusia dari data penelitian Becker dengan menggunakan tonometer Shiotz pada 909 populasi adalah 16,1 mmHg dengan SD 2,8 mmHg dan dari penelitian Leydecker dkk (1958) pada 10.000 populasi mendapatkan nilai tekanan intraokuler 15,8 mmHg dengan SD 2,6 mmHg serta dari penelitian Goldmann pada 400 populasi dengan menggunakan tonometer aplanasi mendapatkan nilai tekanan intraokuler rata-rata 15,4 mmHg dengan SD 2,5 mmHg.
Tekanan intraokular sangat bervariasi pada orang normal demikian juga pada penderita myopia. Myopia merupakan suatu kelainan refraksi yang relatif banyak menyebabkan gangguan penglihatan, myopia merupakan salah satu dari lima besar penyebab kebutaan. Dikatakan bahwa pada penderita myopia, tekanan intraokular mempunyai keterkaitan yang cenderung meninggi pada tingkat keparahan myopia.
Nilai tekanan intraokuler pada setiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: usia, jenis kelamin, musim, variasi diurnal, ras, kelainan refraksi, latihan, obat-obat anastesi, alkohol . Pada beberapa penelitian dijumpai korelasi antara tekanan intraokuler dengan usia, dimana dengan bertambahnya usia cenderung terjadi peningkatan tekanan intraokuler, yang mungkin disebabkan oleh faktor-faktor kardiovaskular, demikian juga yang berhubungan dengan jenis kelamin dimana dari penelitian Armalys (1965) dengan menggunakan tonometer applanasi mendapatkan tekanan intraokuler pada wanita berusia lebih dari 40 tahun lebih tinggi dari pria yang mungkin disebabkan oleh faktor-faktor hormonal (menstruasi).

TINJAUAN PUSTAKA

Tekanan Intraokular
Tekanan intraokular di tentukan oleh kecepatan pembentukan aquos humor dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Tekanan intraokular diatur oleh dinamika cairan aquos humor termasuk diantaranya : produksi cairan aquos, aliran cairan dan tekanan vena episklera. Fungsi dari aquos humor adalah sebagai media refraksi, pemberi nutrisi dan juga mempengaruhi tekanan hiodrostatik untuk stabilitas bola mata.
Tekanan bola mata pada manusia normal yang diukur dengan pemeriksaan Tonometer Aplanasi rata-rata berkisar 15,4 ± 2,5 mmHg pada posisi duduk dan pemeriksaan Tonometer Schiotz rata-rata berkisar 16,1 ± 2,8 mmHg pada posisi berbaring. Distribusi tekanan intraokular rata-rata dari populasi umum berkisar antara 10-20 mmHg.
Produksi aquos humor melalui dua mekanisme yaitu aktif dan pasif. Aktif ( ± 80%) dari produksi aquos, dimana aquos humor disekresi oleh epiel prosesus siliaris yang tidak berpigmen melalui metabolisme yang aktif dan tergantung pada jumlah sistim enzim; serta mekanisme pasif ( ± 20%) melalui proses ultrafiltrasi plasma kapiler, kemampuan plasma melewati sawar epitel dan aliran komponen plasma yang disebabkan adanya perbedaan tekanan osmotik dan tingkat tekanan intraokular.
Tingkat produksi aquos homor rata-rata adalah 2,0 – 3,0 ml/menit atau 1% dari volume aquos humor per menit dan angkanya menjadi 2,4 ± 0,6 ml/menit jika dilakukan pengukuran dengan alat fluorofotometri. Keadaan produksi aquos humor ini bervariasi sesuai dengan variai diurnal dan berkurang selama tidur. Seperti pada aliran aquos humor, produksi aquos humor juga berkurang dengan bertambahnya usia. Pada proses trauma atau peradangan
serta pemberian obat-obatan yang digunakan dalam anestesi umum, obat penurun tekanan darah ; dapat menurunkan produksi aquos humor. Penyakit oklusi karotis juga dapat menurunkan produksi aquos humor.
Aliran aquos humor dari bilik mata belakang melalui pupil menuju bilik mata depan kemudian mengalir melalui dua jalur trabekula dan kanal Schlemm, kanalis intra -sklera, vena episklera untuk selanjutnya masuk kedalam sirkulasi, aliran ini meliputi ±90 % dari seluruh aliran aquos humor. Sedangkan ± 10 % aliran aquos humor ini melalui jalur uveo-sklera yang melewati badan siliar menuju ruangan suprakoroidal dan dialirkan oleh sirkulasi vena pada badan siliar, koroid dan sklera dan sebagian kecil aliran-aliran aquos humor ini juga melalui iris. Dilaporkan bahwa rata-rata kecepatan aliran aquos humor berkisar dari 0,22
0,28 ml/menit/mmHg. Kecepatan aliran ini berkurang sesuai dengan usia dan dipengaruhi oleh bedah, trauma, obat -obatan serta faktor endokrin.

Myopi
Myopia adalah suatu bentuk kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga oleh mata dalam keadaan tidak berakomodasi dibiaskan pada satu titik di depan retina.
Walaupun telah terdapat bukti-bukti dari penelitian-penelitian terdahulu bahwa myopia disebabkan oleh pemanjatan sumbu bola mata, tetapi penyebab yang mendasarinya belum jelas sepenuhnya.
Terdapat dua teori utama tentang terjadinya pemanjangan sumbu bola mata pada myopia. Teori biologik menganggap pemanjangan sumbu bola mata sebagai akibat kelainan pertumbuhan retina (overgrowth) sedangkan teori mekanik mengemukakan penekanan (stress) sklera sebagai penyebab pemanjangan tersebut. Berikut ini akan diuraikan pendapat pendapat para ahli tentang mekanisme dari kedua teori tersebut dan kemudian akan dibahas pula tentang kemungkinan adanya hubungan diantara keduanya.
Salah satu mekanisme pemanjangan sumbu bola mata yang diajukan pada teori mekanik adalah penekanan bola mata oleh muskulus rektus medial dan oblik superior. Seperti diketahui, penderita myopia selalu menggunakan konvergensi yang berlebihan. Menurut Von graefe, otot ekstraokular, terutama rektus medial bersifat miopigenik karena kompresinya terhadap bola mata pada saat konvergensi. Jakson, menganggap bahwa konvergensi merupakan faktor etiologik yang penting dalam perkembangan myopia. Dikemukakan juga bahwa muskulus oblik superior juga menekan bola mata pada waktu melihat atau bekerja dekat.
Hal yang dikemukakan diatas baru menjelaskan mekanisme, belum sampai ada etiologinya. Terjadinya konvergensi yang berlebihan menurut Mannhardt disebabkan oleh karena penderita myopia memiliki jarak orbita dan jarak pupil yang lebar. Stilling menambahkan, disamping lebar, orbita juga lebih rendah sehingga porsi muskulus oblik superior yang menekan bola mata lebih besar. Jadi disini ada pengaruh dari anatomi kepala, dan kebenaran akan hal ini dikonfirmasikan oleh beberapa ahli lain. Possey dan Vandergrift mengemukakan bahwa anatomi merupakan faktor yang terpenting dalam terjadinya myopia. Fox mengidentifikasikan orbita yang dalam akan lebih memungkinkan untuk terjadinya pemanjangan sumbu bola mata.

Pemeriksaan
Tonometri digital palpasi
Merupakan pengukuran tekanan bola mata dengan jari pemeriksa. Alat yang digunakan yaitu jari telunjuk kedua tangan pemeriksa
Teknik :
  • Mata ditutup
  • Pandangan kedua mata menghadap kebawah
  • Jari-jari yang lain bersandar pada dahi dan pipi pasien
  • Kedua jari telunjuk menekan bola mata pada bagian belakang kornea bergantian
  • Satu telunjuk mengimbangi saat telunjuk lain menekan bola mata
Nilai : didapat kesan berapa ringannya bola mata ditekan. Tinggi rendahnya tekanan dicatat sebagai berikut : N : normal, N+1 : agak tinggi, N+2 : lebih tinggi lagi, N-1 : lebih rendah dari normal dst.
Keuntungan : cari ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau sulit. Kekurangan : cari ini memerlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat faktor subjektif
Tonometri Schiotz
Tonometer Schiotz merupakan tonometer indentasi atau menekan permukaan kornea dengan beban yang dapat bergerak bebas pada sumbunya. Benda yang ditaruh pada bola mata (kornea) akan menekan bola mata kedalam dan mendapatkan perlawanan tekanan dari dalam melalui kornea. Keseimbangan tekanan tergantung beban tonometer.
Alat dan Bahan : Tonometer Schiotz dan anestesi local (pantokain 0.5%)
Teknik :
  • Pasien diminta rileks dan tidur telentang
  • Mata diteteskan pantokain dan ditunggu sampai pasien tidak merasa perih
  • Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari, jangan sampai bola mata tertekan
  • Pasien diminta melihat lurus keatas dan telapak tonometer Schiotz diletakkan pada permukaan kornea tanpa menekannya
  • Baca nilai tekanan skala busur schiotz yang berantara 0-15. Apabila dengan beban 5.5 gr (beban standar) terbaca kurang dari 3 maka ditambahkan beban 7.5 atau 10 gr.
Nilai : pembacaan skala dikonversikan pada table tonometer schoitz untuk mengetahui tekanan bola mata dalam mmHg
Pada tekanan lebih dari 20mmHg dicurigai glaucoma, jika lebih dari 25 mmHg pasien menderita glaucoma.
Kekurangan : tonometer schiotz tidak dapat dipercaya pada penderita myopia dan penyakit tiroid dibanding dengan tonometer aplanasi karena terdapat pengaruh kekakuan sclera pada penderita myopia dan tiroid.
Tonometri aplanasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan tekanan intra ocular dengan menghilangkan pengaruh kekakuan sclera dengan mendatarkan permukaan kornea.
Tekanan merupakan tenaga dibagi dengan luas yang ditekan. Untuk mengukur tekanan mata harus diketahui luas penampang yang ditekan alat sampai kornea rata dan jumlah tenaga yang diberikan. Pada tonometer Aplanasi Goldmann jumlah tekanan dibagi penampang dikali 10 dikonversi dalam mmHg tekanan bola mata. Dengan tonometer aplanasi tidak diperhatikan kekakuan sclera karena pada tonometer ini pengembangan dalam mata 0.5 mm 3 sehingga tidak terjadi pengembangan sclera yang berarti. Pada tonometer schiotz , pergerakan cairan bola mata sebanyak 7-14 mm3 sehingga kekakuan sclera memegang peranan dalam penghitungan tekanan bola mata
Alat :
  • Slit lamp dengan sinar biru
  • Tonometer Aplanasi
  • Flouresein strip
  • Obat anastesi local
Teknik :
  • Mata yang akan diperiksa diberi anastesi topical pantocain 0.5%
  • Pada mata tersebut ditempelkan kertas flouresein yaitu pada daerah limbus inferior. Sinar oblik warna biru disinarkan dari slit lamp kedasar telapak prisma tonometer Aplanasi Goldmann
  • Pasien diminta duduk dan meletakkan dagunya pada slitlamp dan dahinya tepat dipenyangganya.
  • Pada skala tonometer aplanasi dipasang tombol tekanan 10mmHg
  • Telapak prisma aplanasi didekatkan pada kornea perlahan lahan
  • Tekanan ditambah sehingga gambar kedua setengah lingkaran pada kornea yang telah diberi flouresein terlihat bagian luar berhimpit dengan bagian dalam
  • Dibaca tekanan pada tombol putaran tonometer aplanasi yang member gambaran setengah lingkaran yang berhimpit. Tekanan tersebut merupakan TIO dalam mmHg.
Nilai : dengan tonometer Aplanasi, jika TIO > 20 mmHg sudah dianggap menderita glaucoma.








REFERENSI
  1. PERDAMI. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-2, cet.I, Sagung Seto, Jakarta, 2002, 239–245
  1. Sidarta Ilyas. Dasar Tekhnik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata, FKUI, Jakarta, 2000, hal. 3, 117-119
  1. Sidarta Ilyas. Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Balai Penerbit FKUI Jakarta, 1997, hal. 7

  2. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Balai Penerbit FKUI Jakarta, 1997; hal 72–73.
  1. Agni N, Budihardjo. Kelainan Refraksi di RSUP Dr.Surdjito Yogyakarta. Dalam: Gunawan, Malebri BK, Ghozi M, Hartono ed. Kongres Nasional V Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia. Yogyakarta : Perhimpunan Dokter Ahi Mata Indonesia, 1984 : 189 – 94















































KERACUNAN INSEKTISIDA

PENDAHULUAN

Pestisida digunakan untuk membasmi bermacam-macam hama (tumbuhan maupunbinatang) yang dijumpai dalam kehidupan manusia. Pestisida digunakan di negara negara dunia ini untuk melindungi tanaman dari kerusakan.(1) Berdasarkan target sasarannya pestisida dibagi menjadi beberapa bagian yaitu racun serangga (insektisida), racun tikus (rodentisida), racun rumput/gulma (herbisida), racun nematoda (nematosida), racun fungi/jamur (fungisida), racun keong/siput (Moluskusida) racun larva (larvasida), dan
racun rayap (mitisida). Pestisida yang sering tersimpan dalam rumah adalah racun serangga (insektisida) dan racun tikus (rodentisida). Pestisida tidak saja beracun terhadap organisme sasaran tetapi juga terhadap organisme lainnya seperti manusia dan hewan peliharaan. Pestisida dapat masuk atau meracuni tubuh melalui beberapa cara yaitu tertelan (mulut), terhirup (hidung/saluran pernafasan), terkena kulit atau mata.
Walaupun dalam jumlah dan ukuran kecil tetapi pestisida jelas menimbulkan keracunan pada manusia. Data kematian akibat pajanan dengan pestisida tersebut jarang dijumpai, diduga setiap kematian yang terjadi tidak lebih akibat dari 100 kasus keracunan yang tidak fatal. Survei statistik mengenai morbiditas dan mortalitas menunjukkan penurunan jumlah kematian karena kecelakaan dalam penggunaan pestisida. Hal ini dimungkinkan adanya peningkatan pengetahuan toksisitas pestisida melalui program pencegahan keracunan.(1)
Di antara pestisida, golongan organofosfat yang paling umum ditemukan. Insektisida paling banyak digunakan pada negara yang berkembang, sedangkan herbisida lebih banyak digunakan pada negara yang maju. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO 1986) mendefinisikan adalah setiap zat atau campuran yang diharapkan sebagai pencegahan, menghancurkan atau pengawasan setiap hama termasuk vektor terhadap manusia atau penyakit pada binatang, dan tanaman yang tidak disukai atau binatang yang menyebabkan keruskan selama atau dalam proses pencampuran dengan produksi, penyimpanan atau pemasaran makanan, komiditi pertanian, kayu dan produksi kayu, atau bahan makanan binatang, atau yang dapat dilakukan pada binatang sebagai kontrol terhadap serangga, arachnoid, atau hama lain di dalam atau pada tubuh binatang tersebut.(2,6)
Kurang lebih 90 % dari seluruh pestisida yang dihasilkan digunakan untuk tujuan komersil, dan sisanya pada pengawasan hama, perkebunan, dan penggunaan pada rumah dan taman. Pada perkebunan, pajanan pekerjaan terhadap pestisida terutama timbul selama mencampur persenyawaan tersebut dengan air dan penyemprotan campuran tersebut.(6) Organofosfat paling banyak digunakan dalam pertanian dan kemungkinan paling banyak frekuensinya sebagai agen penyebab penyakit saraf di antara pekerja pertanian terutama pada negara yang berkembang. Dijumpai lebih dari 50.000 persenyawaan organofosfat telah disintesa dan diuji aktivitasnya sebagai insektisida, tetapi jumlah sebenarnya yang digunakan untuk tujuan sekarang ini mungkin tidak lebih dari tiga lusin. Insektisida organofosfat adalah diantara pestisida yang paling toksik pada manusia dan paling banyak frekuensinya ditemukan keracunan insektisida. Tertelan sedikit saja seperti 2 mg pada anak-anak dapat menimbulkan kematian.(1)
Penemuan Persenyawaan Organofosfat
Persenyawaan organofosfat pada mulanya ditemukan di Jerman selama Perang Dunia II. Mereka menggunakannya sebagai gas saraf dalam perang kimia seperti tabun, sarin, dan soman.(1,4)
Sintesa awal meliputi persenyawaan seperti Tetraetilfirofosfat (TEPP), parathion dan skradan yang nyata efektif sebagai insektisida, tetapi juga secara perlahan toksik pada mamalia. Penelitian dilakukan sebagai perkembangan dengan munculnya malathion yang merupakan insektisida poten dengan sedikit risiko pada manusia. Semua insektisida organofosfat berkemungkinan besar menjadi toksik.(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Mekanisme Keracuna Insektisida
Semua insektisida bentuk cair dapat diserap melalui kulit dan usus dengan sempurna. Jenis yang paling sering menimbulkan keracunan di Indonesia adalah golongan organofosfat dan organoklorin. Golongan karbamat efeknya mirip efek organofosfat, tetapi jarang menimbulkan kasus keracunan. Masih terdapat jenis pestisida lain seperti racun tikus (antikoagulan dan seng fosfit) dan herbisida (parakuat) yang juga sangat toksik. Kasus keracunan golongan ini jarang terjadi. Organofosfat diabsorbsi dengan baik melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan dengan jalan utama pajanan pekerjaan adalah melalui kulit.(4)
Pada umumnya organofosfat yang diperdagangkan dalam bentuk –thion (mengandung sulfur) atau yang telah mengalami konversi menjadi –okson (mengandung oksigen), dalam –okson lebih toksik dari bentuk –thion. Konversi terjadi pada lingkungan sehingga hasil tanaman pekrja dijumpai pajanan residu yang dapat lebih toksik dari pestisida yang digunakan. Sebagian besar sulfur dilepaskan ke dalam bentuk mercaptan, yang merupakan hasil bentuk aroma dari bentuk –thion organofosfat. Mercaptan memiliki aroma yang rendah, dan reaksi-reaksi bahayanya meliputi sakit kepala, mual, muntah yang selalu keliru sebagai akibat keracunan akut organofosfat.(4)
Konversi dari –thion menjadi -okson juga dijumpai secara invivo pada metabolisme mikrosom hati sehingga –okson menjadi pestisida bentuk aktif pada hama binatang dan manusia. Hepatik esterase dengan cepat menghidrolisa organofosfat ester, menghasilkan alkil fosfat dan fenol yang memiliki aktifitas toksikologi lebih kecil dan cepat diekskresi.
Organofosfat menimbulkan efek pada serangga, mamalia dan manusia melalui inhibisi asetilkolinesterase pada saraf.(1,2,3,4,5,6,7)
Fungsi normal asetilkolin esterase adalah hidrolisa dan dengan cara demikian tidak mengaktifkan asetilkolin. Pengetahuan mekanisme toksisitas memerlukan pengetahuan lebih dulu aksi kolinergik neurotransmiter yaitu asetilkolin (ACh) . Reseptor muskarinik dan nikotinik-asetilkolin dijumpai pada sistem saraf pusat dan perifer.(1)
Pada sistem saraf perifer, asetilkolin dilepaskan di ganglion otonomik :
1. sinaps preganglion simpatik dan parasimpatik
2. sinaps postgamglion parasimpatik
3. neuromuscular junction pada otot rangka.
Pada sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin umumnya lebih penting toksisitas insektisitada organofosfat pada medulla sistem pernafasan dan pusat vasomotor. Ketika asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmiter untuk memperbanyak konduksi saraf perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri melalui hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase (AChE). Ada dua bentuk AChE yaitu true cholinesterase atau asetilkolinesterase yang berada pada eritrosit, saraf dan neuromuscular junction. Pseudocholinesterase atau serum cholisterase berada terutama pada serum, plasma dan hati.(1,4)
Insektisida organofosfat menghambat AChE melalui proses fosforilasi bagian ester anion. Ikatan fosfor ini sangat kuat sekali yang irreversibel. Aktivitas AChE tetap dihambat sampai enzim baru terbentuk atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan berfungsi sebagai antikolinesterase, kerjanya menginaktifkan enzim kolinesterase yang berfugnsi menghidrolisa neurotransmiter asetilkolin (ACh) menjadi kolin yang tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan ACh pada sinapssinaps kolinergik, dan inilah yang menimbulkan gejala-gejala keracunan organofosfat.(1,2,3,4,6,7) Pajanan pada dosis rendah, tanda dan gejala umumnya dihubungkan dengan stimulasi reseptor perifer muskarinik. Pada dosis lebih besar juga mempengaruhi reseptor nikotinik dan reseptor sentral muskarinik. Aktivitas ini kemudian akan menurun, dalam dua atau empat minggu pada pseudocholinesterase plasma dan empat minggu sampai beberapa bulan untuk eritrosit.(1)

Manifestasi Klinis Keracunan Insektisida
  1. Tanda dan Gejala
Keracunan organofosfat dapat menimbulkan variasi reaksi keracunan. Tanda dan
gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang persisten.(1)
Tanda dan gejala awal keracunan adalah stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan, diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi (MUDDLES).(1,2,3,4,5,6,7)
Efek yang terutama pada sistem respirasi yaitu bronkokonstriksi dengan sesak nafas
dan peningkatan sekresi bronkus.(1) Dosis menengah sampai tinggi terutama terjadi stimulasi nikotinik pusat daripada efek muskarinik (ataksia, hilangnya refleks, bingung, sukar bicara, kejang disusul paralisis, pernafasan Cheyne Stokes dan coma.(1,2,4,7) Pada umumnya gejala timbul dengan cepat dalam waktu 6 – 8 jam, tetapi bila pajanan berlebihan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit. Bila gejala muncul setelah lebih dari 6 jam,ini bukan keracunan organofosfat karena hal tersebut jarang terjadi.(4)
Kematian keracunan akut organofosfat umumnya berupa kegagalan pernafasan. Oedem paru, bronkokonstriksi dan kelumpuhan otot-otot pernafasan yang kesemuanya akan meningkatkan kegagalan pernafasan.(1,4)
Aritmia jantung seperti hearth block dan henti jantung lebih sedikit sebagai penyebab kematian.(4)
Insektisida organofosfat diabsorbsi melalui cara pajanan yang bervariasi, melalui inhalasi gejala timbul dalam beberapa menit. Ingesti atau pajanan subkutan umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk menimbulkan tanda dan gejala. Pajanan yang terbatas dapat menyebabkan akibat terlokalisir. Absorbsi perkutan dapat menimbulkan keringat yang berlebihan dan kedutan (kejang) otot pada daerah yang terpajan saja. Pajanan pada mata dapat menimbulkan hanya berupa miosis atau pandangan kabur saja. Inhalasi dalam konsentrasi kecil dapat hanya menimbulkan sesak nafas dan batuk. Komplikasi keracunan selalu dihubungkan dengan neurotoksisitas lama dan organophosphorus-induced delayed neuropathy(OPIDN).(1)
Sindrom ini berkembang dalam 8 – 35 hari sesudah pajanan terhadap organofosfat. Kelemahan progresif dimulai dari tungkai bawah bagian distal, kemudian berkembang kelemahan pada jari dan kaki berupa foot drop. Kehilangan sensori sedikit terjadi. Demikian juga refleks tendon dihambat .(7)

  1. Laboratorium
Nilai laboratorium tidak spesifik , yang dapat ditemukan bersifat individual pada keracunan akut, diantaranya lekositosis, proteinuria, glikosuria dan hemokonsentrasi. Walaupun demikian, perubahan aktifitas kolinesterase sesuai dengan tanda dan gejala merupakan informasi untuk diagnosa dan penanganan sebagian besar kasus.(4)
Pada konfirmasi diagnosa, pengukuran aktifitas inhibisi kolinesterase dapat digunakan, tetapi pengobatan tidak harus menunggu hasil laboratotium.(1)
Pemeriksaan aktivitas kolinesterase darah dapat dilakukan dengan cara acholest atau tinktometer. Enzim kolinesterase dalam darah yang tidak diinaktifkan oleh organofosfat akan menghidrolisa asetilkolin ( yang ditambahkan sebagai substrat) menjadi kolin dan asam asetat. Jumlah asam asetat yang terbentuk, menunjukkan aktivitas kolinesterase darah, dapat diukur dengan cara mengukur keasamannya dengan indikator. Pada pekerja yang menggunakan organofosfat perlu diketahui aktivitas normal kolinesterasenya untuk dipakai sebagai pedoman bila kemudian timbul keracunan. Manifestasi klinik keracunan akut umumnya timbul jika lebih dari 50 % kolinesterase dihambat, berat ringannya tanda dan gejala sesuai dengan tingkat hambatan.

Penatalaksanaan Keracunan Insektisida
Penanganan keracunan insektsida organofosfat harus secepat mungkin dilakukan. Keragu-raguan dalam beberapa menit mengikuti pajanan berat akan meningkatkan timbulnya korban akibat dosis letal.(1)
Beberapa puluh kali dosis letal mungkin dapat diatasi dengan pengobatan cepat. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan :
  1. Bila organofosfat tertelan dan penderita sadar, segera muntahkan penderita dengan mengorek dinding belakang tenggorok dengan jari atau alat lain, dan atau memberikan larutan garam dapur satu sendok makan penuh dalam segelas air hangat. Bila penderita tidak sadar, tidak boleh dimuntahkan karena bahaya aspirasi.
  2. Bila penderita berhenti bernafas, segeralah dimulai pernafasan buatan. Terlebih dahulu bersihkan mulut dari air liur, lendir atau makanan yang menyumbat jalan nafas. Bila organofosfat tertelan, jangan lakukan pernafasan dari mulut ke mulut.
  3. Bila kulit terkena organofosfat, segera lepaskan pakaian yang terkena dan kulit dicuci dengan air sabun.
  4. Bila mata terkena organofosfat, segera cuci dengan banyak air selama 15 menit.

Pengobatan
1. Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kewmudian atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan. Atropin akan menghialngkan gejala –gejala muskarinik perifer (pada otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan diperbaiki karena atropin melawan brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernafasan di otak, tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernafasan.

2. Pralidoksim
Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator enzim kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan, keefektifannya dipertanyakan.(1)
Dosis normal yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jika kelemahan otot tidak ada perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1 – 2 jam. Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam kecuali pada kasus pajanan dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan kronis. (1) Pralidoksim dapat mengaktifkan kembali enzim kolinesterase pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan otot rangka sehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka.

Pencegahan Keracunan Insektisida
Cara-cara pencegahan keracunan pestisida yang mungkin terjadi pada pekerjapekerja pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai berikut :
a. Penyimpanan pestisida :
    1. Pestisida harus disimpan dalam wadah wadah yang diberi tanda, sebaiknyatertutup dan dalam lemari terkunci.
    2. Campuran pestisida dengan tepung atau makanan tidak boleh disimpan dekat
makanan. Campuran yang rasanya manis biasanya paling berbahaya. Tanda tanda harus jelas juga untuk mereka yang buta huruf.
    1. Tempat-tempat bekas menyimpan yang telah tidak dipakai lagi harus dibakar agar sisa pestisida musnah sama sekali.
    2. Penyimpanan di wadah-wadah untuk makanan atau minuman seperti di botolbotol, sangat besar bahayanya.

b. Pemakaian alat-alat pelindung :
  1. Pakailah masker dan adakanlah ventilasi keluar setempat selama melakukan pencampuran kering bahan-bahan beracun.
  2. Pakailah pakaian pelindung, kacamata, dan sarung tangan terbuat dari neopren, jika pekerjaan dimaksudkan untuk mencampur bahan tersebut dengan minyak atau pelarut-pelarut organis. Pakaian pelindung harus dibuka dan kulit dicuci sempurna sebelum makan.
  3. Pakaialah respirator, kacamata, baju pelindung, dan sarung tangan selama menyiapkan dan menggunakan semprotan, kabut, atau aerosol, jika kulit atau paru-paru mungkin kontak dengan bahan tersebut.

c. Cara-cara pencegahan lainnya :
  1. Selalu menyemprot ke arah yang tidak memungkinkan angin membawa bahan, sehingga terhirup atau mengenai kulit tenaga kerja yang bersangkutan.
  2. Hindarkan waktu kerja lebih dari 8 jam sehari bekerja di tempat tertutup dengan penguap termis, juga alat demikian tidak boleh digunakan di tempat kediaman penduduk atau di tempat pengolahan bahan makanan.
  3. Janganlah disemprot tempat-tempat yang sebagian tubuh manusia akan bersentuhan dengannya.

Di bawah ini dikutip pedoman dan petunjuk-petunjuk pemakaian pestisida yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi :
  1. Semua pestisida adalah racun, tetapi bahayanya dapat diperkecil bila diketahui cara-cara bekerja dengan aman dan tidak mengganggu kesehatan.
  2. Bahaya pestisida terhadap pekerja lapangan ialah :
  1. Pada waktu memindahkan pestisida dari wadah yang besar kepada wadah yang lebih kecil untuk diangkat dari gudang ke tempat bekerja.
  2. Pada waktu mempersiapkannya sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan.
  3. Pada waktu dan selama menyemprot.
  4. Kontaminasi karena kecelakaan, yang dapat terjadi pada setiap tingkat pekerjaan
  5. tersebut di atas (waktu memindah-mindahkan, bongkar muat, peredearan dan
  6. transportasi, penyimpanan, pengaduk, menyemprot atau pemakaian lainnya).
  1. Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka perlu mendapat perhatian intensif :
  1. Mereka yang bekerja dengan pestisida harus diberitahu bahaya yang akan dihadapinya atau mungkin terjadi dan menerima serta memperhatikan pedoman dan petunjuk-petunjuk tentang cara-cara bekerja yang aman dan tidak mengganggu kesehatan.
  2. Harus ada pengawasan teknis dan medis yang cukup.
  3. Harus tersedia fasilitas untuk PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) mengingat efek keracunan pestisida yang dapat berbahaya pada pekerja. Bila dipakai pestisida golongan organofosfat harus tersedia atropin, baik dalam bentuk tablet maupun suntikan. Untuk ini perlu adanya seorang pengawas yang terlatih.
  1. Penyemprot diharuskan memakai tutup kepala atau masker yang tak dapat tembus, serta dicuci dengan baik secara berkala.
  2. Pekerja yang mendapat cedera atau iritasi kulit pada tempat-tempat yang mungkin terkena pestisida, dalam hal ini ia tidak diperkenankan bekerja dengan pestisida, karena keadaan ini akan mempermudah masuknya pestisida ke dalam tubuh.
  3. Fasilitas (termasuk sabun) untuk mencuci kulit (mandi) dan mencuci pakaian harus tersedia cukup. Mandi setelah menyemprot adalah merupakan keharusan yang perlu mendapat pengawasan.
  4. Pekerja tidak boleh bekerja dengan pestisida lebih dari 4 sampai 5 jam dalam satu hari kerja, bila aplikasi dari pestisida oleh pekerja yang sama berlangsung dari hari ke hari (kontinu dan berulang kali) dan untuk waktu yang sama.
  5. Harus dipakai pakaian kerja yang khusus dan tersendiri, pakaian kerja ini harus diganti dan dicuci setiap hari, untuk pestisida golongan organofosfat perlu dicuci dengan sabun.
  6. Disamping memperhatikan keadaan-keadaan lainnya, pekerja tidak boleh merokok, minum atau makan sebelum mencuci tangan dengan bersih memakai sabun dan air.
  7. Bahaya terbesar terdapat pada waktu bekerja dengan konsentrat, karenanya perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :
  1. Dalam mempersiapkan konsentrat dari bubuk dispersi dalam air, haruslah dipakai bak pencampur yang dalam, serta alat pengaduk yang cukup panjangnya untuk mencegah percikan, dan dapat bekerja sambil berdiri. Demikian pula untuk mencairkan past yang padat.
  2. Mengisi bak pencampur harus demikian, sehingga bahaya percikan dapat ditiadakan atau sekecil mungkin.
  3. Pekerja disini selain memakai alat pelindung seperti pada penyemprot, harus pula memakai skor dan sarung tangan yang tidak dapat tembus.
  4. Memindahkan konsentrat dari satu tempat atau wadah ke tempat yang lain harus memakai alat yang cukup panjang.
  5. Konsentrat cair harus ditempatkan dalam wadah yang cukup kuat, tidak mudah rusak pada waktu pengangkutan dan ditutup rapat.
  1. Alat-alat penyemprot harus memenuhi ketentuan-ketentuan keselamatan kerja.
  2. Semua wadah pestisida harus mempunyai etiket yang memenuhi syarat, mudah dibaca dan dimengerti baik oleh pekerja maupun pengawas.
  3. Harus dipenuhi ketentuan-ketentuan tentang wadah pestisida yang telah kosong atau hampir kosong, yaitu :
  1. Wadah ini harus dikembalikan ke gudang selanjutnya dibakar atau dirusak dan kemudian dikubur.
  2. Wadah dapat pula didekontaminasikan dengan memenuhi persyaratan tertentu.
  1. Sedapat mungkin diusahakan supaya tenaga kerja pertanian yang bersangkutan dilakukan pemeriksaan kesehatan berkala, terhadap yang menggunakan pestisida organofosfat dilakukan setiap bulan sekali pemeriksaan kesehatan berkala yang berpedoman kepada standard kolinesterase dalam darah.




CARPAL TUNNEL SYNDROME

Pada terowongan karpal yang normal hampir tidak ada ruang untuk semua tendon dan saraf medianus. Sebagai akibatnya semua pembengkakan bisa berakibat kompresi dan iskemia pada saraf. Biasanya penyebabnya lolos dari deteksi; sindrom ini biasa pada menopause, pada artritis rheumathoid, pada kehamilan, dan pada miksedema. Tomografi komputer menunjukkan bahwa wanita mempunyai terowongan yang lebih kecil daripada pria, dan mereka yang menderita sindroma ini mempunyai terowongan yang paling kecil.
Ada beberapa bukti bahwa kompresi proksimal saraf (misalnya pada penyakit diskogenik servikal) dapat bertindak sebagai suatu faktor yang dapat mempengaruhi penangkapan perifer.

Gambaran Klinik
Rasa sakit dan paresthesia terjadi dalam distribusi saraf medianus tangan. Tiap malam pasien terbangun pada jam-jam awal dengan rasa nyeri yang panas, membakar, rasa nyeri, dan mati rasa. -Menggantung lengan di sisi tempat tidur, atau mengoncang-goncang lengan dapat menyembuhkan gejala. Selama siang hari terasa sedikit nyeri kecuali dengan aktivitas seperti merajut atau membaca surat kabar, di mana lengan tidak bergerak-gerak. Pada kasus lanjut mungkin ada rasa kaku dan lemah.
Keadaan ini 8 kali lebih sering pada wanita dibanding pria. Kelompok umur yang biasa terserang adalah 40-50 tahun; pada pasien yang lebih muda biasanya ditemukan faktor-faktor yang berkaitan misalnya kehamilan atau penyakit rheumatoid.
Kedua tangan atau hanya tangan yang dominan, mungkin terkena. Tanda-tanda fisik yang abnormal biasanya tak ada; idealnya keadaan ini harus didiagnosis sebelum tanda-tanda terlihat. Pola perubahan sensorik kadang-kadang dapat ditimbulkan kembali dengan menahan pergelangan tangan dalam palmar fleksi penuh selama 1 menit atau dengan menekan lengan dengan manset sfigmomanometer. Pada kasus lanjut terdapat kelumpuhan otot thenar dan kelemahan abduksi ibu jari. Penelitian dengan listrik memperlihatkan konduksi saraf yang melewati pergelangan tangan melambat.

Diagnosis
Gejala sindrom terowongan karpal dengan mudah keliru dengan spondilitis servikal yang melibatkan C6 dan C7. Tanda-tanda sinar X degenerasi diskus servikal biasa pada orang tua dan hal ini menambah keruwetan. Keluhan klasik nyeri dan paresthesia pada malam hari bersama dengan perubahan konduksi saraf membantu menegakkan diagnosis.

Terapi
Pada sebagian besar kasus, operasi ligamentum kapal anterior menawarkan penyembuhan secara cepat dan sederhana. Terapi konservatif mungkin lebih baik selama kehamilan; pergelangan tangan dibebat pada malam hari untuk mencegah melipat dalam fleksi.


Sumber:
Apley A. Graham, Solomon Louis. Buku ajar orthopedi dan fraktur sistem Apley Edisi 7. Jakarta : Widya Medika; 1995.