Thursday, November 18, 2010

RNA THERAPEUTIC, PENDEKATAN BARU DALAM TERAPI GEN

Terapi gen adalah teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang bertanggung jawab terhadap suatu penyakit. Selama ini pendekatan terapi gen yang berkembang adalah menambahkan gen-gen normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan. Pendekatan lain adalah melenyapkan gen abnormal dengan gen normal dengan melakukan rekombinasi homolog. Pendekatan ketiga adalah mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif, sedemikian rupa sehingga akan mengembalikan fungsi normal gen tersebut. Selain pendekatan-pendekatan tersebut, ada pendekatan lain untuk terapi gen, yaitu mengendalikan regulasi ekspresi gen abnormal tersebut (Holmes, 2003). Perkembangan terapi gen yang terkini untuk penyakit-penyakit adalah lebih ke arah gagasan mencegah diekspresikannya gen-gen yang jelek atau abnormal, atau dikenal dengan gene silencing. Untuk tujuan gene silencing atau membungkam ekspresi gen tersebut, maka penggunaan RNA jika dibandingkan dengan DNA lebih dimungkinkan, sehingga dikenal istilah RNA therapeutic (Adams, 2005). Suatu studi yang menggemparkan dilaporkan di majalah Nature bulan Mei 2001 yang menunjukkan bahwa RNA dapat membungkam ekspresi gen dengan efektif (Elbashir, 2001). Gagasan terapi gen dengan mereparasi mRNA (messenger RNA) daripada mengganti gen yang cacat berarti menggunakan mekanisme regulasi sel itu sendiri, sehingga efek samping yang merugikan lebih dapat ditekan (Penman, 2002). Setelah adanya laporan-laporan penelitian tersebut, maka dimulailah booming dalam bisnis perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan riset RNA, maupun perusahaan-perusahaan farmasi yang berharap RNA therapeutic ini segera dapat diluncurkan sebagai sediaan obat (Pallarito, 2004). Namun, para pakar memperkirakan masih sekitar tujuh sampai limabelas tahun lagi baru terealisasi (Pray, 2004; Wang, 2004).

Prinsip terapi antisense RNA merupakan pemikiran yang brilian yang sebenarnya mengadopsi kondisi alamiah seperti di dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap virus, dan suatu mekanisme yang sama pada nematoda Caenorhabditis elegans (Pfeffer, 2004; Lee, 1993). Ketika itu ditemukan suatu RNA untai ganda (double strand RNA = dsRNA) yang menunjukkan kemampuan menghambat ekspresi gen (Lieberman, 2003). Prinsip ini lebih cocok untuk diimplementasikan dalam terapi gen untuk mengatasi penyakit tertentu dimana terjadi ekspresi gen-gen abnormal yang menimbulkan penyakit, seperti misalnya pada penyakit kanker.

Mekanisme kerja antisense RNA adalah sebagai berikut (Dale, 1994; Glick & Pasternak, 1994). Untai RNA yang ditranslasi disebut sebagai untai sense. Sementara itu, untai yang mempunyai sekuens basa nukleotida komplemen dengan untai sense disebut antisense. Jika untai sense berikatan dengan untai antisense membentuk dupleks, maka terjadi pemblokiran proses translasi yang mengakibatkan terjadinya penghambatan ekspresi gen (Penman, 2002). Hal ini dapat terjadi disebabkan ribosom tidak memperoleh akses ke pada nukleotida pada untai mRNA, atau yang dapat pula terjadi adalah disebabkan bentuk duplex RNA sangat mudah terdegradasi oleh enzim pendegradasi ribonukleat, ribonuclease, di dalam sel. Penggunaan metode DNA rekombinan daripada RNA rekombinan, lebih memungkinkan untuk menghantarkan gen sintetis yang menyandikan molekul RNA antisense ke dalam suatu organisme dengan relatif lebih stabil.

Suatu antisense mRNA (aRNA) jika dimasukkan ke dalam sel suatu organisme, maka aRNA akan berikatan dengan mRNA yang ada di dalam sel tersebut sehingga membentuk suatu dupleks. Terbentuknya dupleks RNA ini akan menyebabkan terjadinya penghambatan ekspresi gen pada tahap translasi. Untuk berlangsungnya proses translasi, selain ribosom sebagai mesin pensintesis protein, maka diperlukan pula mRNA untai tunggal, juga diperlukan tRNA yang membawa asam amino – asam amino, serta protein-protein kecil khusus yang terkandung di dalam ribosom (Thenawijaya, 1994). Sebenarnya sel mengandung gen-gen yang secara alami ditranslasikan menjadi RNA antisense yang mempunyai kemampuan menghalangi translasi gen-gen lainnya di dalam sel (Agrawal, et al., 2003). Baru-baru ini beberapa kasus ditemukan, dan tampaknya hal ini dapat mewakili metode regulasi ekspresi gen yang lain. Pada tikus dan manusia, gen-gen untuk reseptor insulinlike growth factor 2 receptor (Igf2r) yang diwariskan dari bapak mensintesis suatu RNA antisense yang tampaknya bekerja menghalangi sintesis mRNA Igf2r (Kawasaki & Taira, 2004). Perbedaan dalam ekspresi suatu gen tergantung pada apakah gen tersebut diwariskan atau tidak dari ibu atau dari bapak yang disebut sebagai genomic atau parental imprinting. Dalam praktiknya, terapi gen dengan prinsip antisense tidaklah semudah teorinya. Dimulai dari proses pemasukan molekul RNA antisense ke dalam sistem biologis sel organisme. Molekul ini harus berhadapan dengan kondisi adanya enzim nuklease dimana-mana, baik di dalam sel maupun di dalam sirkulasi
darah (Agrawal, et al., 2003). Untuk menghindari degradasi ini, asam nukleat (dalam hal ini RNA) dimodifikasi secara kimia dengan memodifikasi gugus di dalam struktur asam nukleat. Setelah berhasil mengatasi enzim nuklease, molekul asam nukleat harus mampu menembus sel membran yang merupakan lapisan lemak ganda. Padahal, asam nukleat terbangun atas gugus fosfat sebagai tulang punggungnya yang menghasilkan muatan negatif bersifat hidrofilik. Di dalam sel, asam nukleat harus dialokasikan dengan benar dan tepat ke tempat kerjanya yaitu di nukleus. Namun, sebelum dapat masuk ke dalam nukleus, di dalam sitoplasma sel, asam nuklet terapetik ini harus berhadapan dengan berbagai penghalang. Setelah melalui rintangan-rintangan dan masuk ke dalam nukleus dengan menembus pori-pori membran nukleus, belum dapat begitu saja melaksanakan tugasnya. Seringkali DNA dan RNA nukleus merupakan bentuk yang berlipat secara kompak dan diselubungi oleh protein nukleus. Bahkan, dalam hal RNA, struktur terlipatnya belum begitu banyak dipahami, dan masih sedikit informasi mengenai hal ini, sehingga pada kenyataannya terapi antisense masih merupakan pekerjaan trial and error pada berbagai lokasi dari suatu gen yang dipilih berdasarkan apakah itu pada lokasi awal, pada bagian tengah atau pada bagian lain yang esensial bagi proses ekspresi gen tersebut.

RNA interference (RNAi) merupakan strategi pertahanan kuno yang dimiliki oleh tumbuhan dan invertebrata tingkat rendah untuk melawan infeksi virus dan kerusakan genomik akibat menyisipnya materi genetik asing (Lieberman, et al., 2003; Downward, 2004). RNAi dapat menghambat ekspresi gen pada sekuens yang spesifik dengan jalan memutus mRNA yang mengandung sekuens pendek yang homolog (kurang lebih 19 basa nukleotida) (Elbashir, et al. 2001; Kawasaki & Taira, 2004; Chen, et al., 2004). Para peneliti yang menekuni molekul RNA telah memberikan hasil menggembirakan bahwa RNAi dapat berlaku juga pada sel mamalia. Penelitian-penelitian in vitro selanjutnya diteruskan dengan penelitian in vivo untuk mengetahui bagaimana mekanisme kerja RNAi tersebut pada sel-sel mamalia. Penelitian terbaru menun-jukkan bahwa RNAi dapat digunakan untuk melindungi mencit dari virus hepatitis (Xia, et al., 2004).

Penelitian tentang upaya RNAi untuk mengatasi penyakit-penyakit pada manusia sampai saat ini masih terus dikembangkan. Mekanisme kerja RNAi adalah melibatkan suatu intermediet aktif yang disebut small interfering RNA (siRNA). Molekul siRNA berukuran kecil yaitu hanya 21-25 nukleotida dengan dua nukleotida pada kedua ujung tidak berpasangan. Molekul ini dihasilkan dari hasil kerja suatu enzim Dicer, yaitu suatu ribonuclease dengan energi ATP, yang mengenali dan memotong mRNA yang membentuk dupleks untai ganda menjadi potongan kecil fragmen untai ganda mRNA. Selain itu, siRNA juga dihasilkan dari suatu short hairpin RNA, yaitu untai dupleks RNA yang terbentuk dari suatu untai tunggal yang membentuk hairpin (seperti jepit rambut, dengan lengkungan melipat pada salah satu ujungnya) yang juga dipotong oleh Dicer. Oleh enzim helicase, siRNA akan dibuka ikatan hidrogennya sehingga untai antisense dari siRNA yang terbebas dapat bergabung dengan suatu kompleks protein RNA-induced silencing complex (RISC). Kompleks tersebut akan mengaktifkan RISC yang semula inaktif, dan kemudian protein ini akan melaksanakan tugasnya bekerja memutus mRNA pada bagian yang mengandung sekuens homolog dengan siRNA (Agrawal, et al., 2003; Lucentini, 2004; Pray, 2004; Provost, et al., 2002; Tang, 2005). Berbagai jenis gen dapat dijadikan sebagai target potensial untuk dibungkam ekspresinya oleh siRNA. Hal ini membuka harapan yang menggembirakan tentang penggunaan siRNA dalam dunia pengobatan. Potensi dan spesifisitas siRNA yang besar untuk membungkam ekspresi gen, yaitu 1000 kali lebih besar dibandingkan oligonukleotida antisense, pula menjadi pendukung harapan tersebut. Dibandingkan dengan terapi antibodi, terapi siRNA pembuatannya relatif lebih mudah dan sistem penghantarannya relatif lebih murah pula. Studi in vitro dari RNAi saat ini sedang difokuskan terutama pada terapi infeksi virus dan kanker, dan tampaknya penggunaan klinik awal bagi terapi RNAi nantinya adalah lebih utama kepada kedua penyakit tersebut (Adams, 2005). Beberapa penelitian in vitro aktivitas RNAi yang telah dilaporkan antara lain adalah menghambat pembentukan sel kanker dengan jalan menghambat ekspresi gen Ras yang termutasi yang banyak ditemukan pada berbagai tipe kanker, gen human papilloma virus (HPV) E6 dan E7, faktor transkripsi, serta ekspresi berlebihan dari proto-onkogen seperti Bcl-2 (Lucentini, 2004; Yague, et al., 2004), pada Leukemia-associated tyrosine kinase fusion (TEL-PDGFbR) (Chen, et al.,2004), dan erb B2 (Kawasaki & Tarai,2004). Yang menjadikan RNAi lebih menarik untuk terus diteliti kemampuan aktivitasnya adalah tingkat spesifisitasnya yang cukup tinggi yang tidak dimiliki oleh inhibtor lain. Disamping itu, RNAi mampu bekerja pada berbagai gen pada waktu bersamaan (Yague, et al., 2004 ; Holmes 2003). Namun, kesuksesan terapi RNAi, sebagimana terapi berbasis materi genetik lain, ditentukan oleh stabilitas sediaan serta teknik penghantaran yang digunakan.


Prospek dari penggunaan molekul RNA dalam aplikasi pengobatan diharapkan dapat segera direalisasikan. Namun demikian, para ahli menyadari masih adanya kendala-kendala yang harus diantisipasi agar molekul RNA tersebut dapat digunakan dengan hasil yang optimal. Faktor-faktor yang menjadi penyulit, yaitu karena antisense RNA maupun siRNA harus dimasukan ke dalam sistem biologis sel hidup, bukan pada media sel bebas (Agrawal, et al, 2003); sehingga :

1. Molekul antisense RNA harus menghindari pemecahan oleh enzim nuklease yang akan memotong asam nukleat menjadi basanya. Enzim ini ada di mana-mana, baik di dalam sirkulasi darah maupun di dalam sel. Untuk membuat asam nukleat lebih resisten terhadap enzim ini telah dibuat beberapa strategi, salah satunya adalah dengan cara mengganti oksigen pada jembatan basa dengan sulfur, sehingga menghasilkan jembatan fosforotioat yang lebih resiten.

2. Terapi harus masuk ke dalam sel. Kendala ini merupakan masalah klasik dalam penggunaan materi genetik dalam pengobatan. Para peneliti telah berusaha untuk merekayasa sistem penghantaran untuk kultur sel. Sebagaimana sistem penghantaran materi genetik yang lain, secara teori penghantaran siRNA dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu (1) introduksi langsung siRNA sinetik ; (2) introduksi suatu plasmid atau virus yang menyandi sekuens gen yang akan memproduksi siRNA yang sesuai. Cara kedua dianggap sebagai cara yang lebih baik karena memberikan efek yang lebih lama.

Asam nukleat bebas mempunyai muatan negatif yang kuat yang berasal dari gugus fosfat dari tulang punggung struktur asam nukleat. Hal ini membuat molekul tersebut mudah larut dalam air, tetapi tidak dapat larut dalam lemak ganda struktur membran sel. Dengan menggabungkan asam nukleat dengan suatu pembawa yang berfungsi meningkatkan transpor ke dalam sel; atau juga dikemas dalam suatu kapsul lemak, misalnya liposom, yang telah digunakan secara luas untuk transport amfoterisin dan beberapa obat kanker, diharapkan dapat memenuhi keperluan penghantarannya (Ananthaswamy, 2003). Dilaporkan pula suatu sistem penghantar yang sangat menjanjikan, yaitu berupa ligan peptida dari suatu reseptor kompleks enzim serpin yang dibuat membentuk kompleks dengan materi genetik ini, yang mana dapat menghantar ke berbagai sel target (Roberts, 2004).


Walaupun sampai saat ini belum ditemukan sistem penghantaran yang sesuai, para ahli tetap optimis. Sebagian dari mereka yakin, bahwa penghantaran antisense RNA dan siRNA mungkin tidak memerlukan vektor berupa virus, ataupun sistem penghantaran yang eksotik seperti pada terapi gen. Mereka berpendapat bahwa siRNA dapat secara langsung diintoduksikan ke jaringan seperti telah disebutkan di atas. Namun demikian, hal inipun bukan berarti tanpa masalah, karena tubuh manusia akan dengan cepat mendegradasi siRNA yang masuk. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan upaya untuk meningkatakan stabilitas siRNA, salah satunya dengan modifikasi kimia (Downward, 2004; Lucentini, 2004).

3. Di dalam sel, antisense dan siRNA harus ditransportasikan dengan benar. Mula-mula RNA ditangkap dalam endosom, kemudian bertemu dengan lisosom untuk degradasi intraseluler. Hanya sebagian kecil yang bisa lolos melewati pemecahan endosomal. Setelah bebas di dalam sitoplasma, molekul ini masuk ke dalam nukleus, kemudian berdifusi lewat pori-pori membran, dan di dalam nukleus ini akan bertemu dengan target. Jika seluruh gen atau messenger di dalam nukleus dalam keadaan tidak terlindungi atau berbentuk linier, pelaksanaan terapi akan lebih mudah. Pada kenyataannya, baik DNA maupun RNA terlipat secara rapi dan juga diselubungi oleh protein biasa. Pada RNA masalah menjadi sangat berat, karena pengetahuan tentang struktur RNA yang terlipat di dalam sel hidup masih sangat sedikit. Untuk mencapai sasaran terapi, masih digunakan cara trial and error: satu seri percobaan dengan RNA dimulai pada target lokasi awal untuk transkripsi atau translasi, dengan harapan bahwa lokasi tersebut relatif terbuka (Agrawal, et al., 2003).

4. Masalah selanjutnya adalah bagaimana dapat terjadi interaksi antara terapi dan target, sehingga dapat menghasilkan hibrida yang stabil. Antara basa guanin (G) dengan sitosin (C) terdapat tiga ikatan hidrogen, sehingga merupakan ikatan yang lebih stabil dibandingkan dengan dua ikatan hidrogen antara adenin (A) dengan timin (T). Panjang minimum untuk rancangan suatu untai RNA ditentukan oleh besarnya genom. Di dalam genom manusia, bagi molekul RNA yang terdiri dari basa berjumlah kurang dari 12-15, tampaknya akan mengalami proses penggandaan, dan mungkin akan merusak gen atau messenger yang tidak sesuai. Oleh karena itu, agar terapi stabil dan dikenali, maka panjang basa nukleotidanya adalah antara 13-20 basa.

5. Setelah terbentuk hibrida, tugas selanjutnya adalah merusak target. Antisense yang dirancang untuk mRNA akan berhasil jika didukung oleh enzim RNase H, yaitu enzim yang bekerja memotong messenger. Jika antisense adalah untai tunggal DNA, maka akan langsung berpartisipasi dalam destruksi messenger selanjutnya. Destruksi messenger ini memang diinginkan. Akan tetapi hibrid ini lambat laun akan menimbulkan instruksi genetik yang dapat menerjemahkannya ke dalam protein yang berhubungan dengan penyakit, dan ini dilakukan oleh ribosom yang mempunyai aktivitas instrinsik untuk menguraikan dan memfasilitasi pembacaan pesan genetik tersebut. Untuk menghindari hal ini, harus dibuat antisense yang ikatannya kuat. Dupleks DNA / RNA lebih lemah daripada dupleks RNA / DNA, maka sedang pula dikembangkan usaha untuk membuat DNA yang mirip RNA (Agrawal, et al., 2003).

6. Dari sisi efikasi, RNAi telah diketahui menunjukkan spesifisitas yang cukup tinggi. Akan tetapi, sebagaimana molekul-molekul kecil yang lain, kemungkinan terjadinya masalah dalam aplikasi klinik tetaplah ada. Efek samping yang mungkin saja terjadi berupa terhambatnya ekspresi gen-gen lain yang bukan target, baik akibat degradasi mRNA, penghambatan translasi, ataupun melalui induksi penekanan gen secara global dengan jalan mengaktifkan respons interferon, terlebih jika siRNA diekspresikan oleh vektor virus.

(scumdoctor.com)

0 comments:

Post a Comment